Saya inget banget waktu pengumuman suami diterima PPDS itu temen-temen suami dan temen-temen saya pada nyelametin suami, tapi nggak nyelametin saya hahaha. Rata-rata pada bilang yang sabar ya jadi istri PPDS, atau harus sabar ya tapi aku yakin kamu pasti bisa, dan ucapan lain sejenis itu hihi. Tapi apa emang jadi istri PPDS semenakutkan itu ya?
Sejak jaman sekolah saya emang nggak pernah tertarik jadi dokter, meski banyak orang bilang saya cocok dan nilai saya juga bagus. Saya suka biologi tapi nggak pingin gitu masuk kedokteran. Alasan utamanya saya itu nggak kuat liat benda tajam yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia,ya kayak nyayat-nyayat, mbedah-mbedah, pokoknya saya nggak suka banget lah ngotak-atik badan orang. Alasan selanjutnya adalah saya mikir kalau saya masuk FK saya nggak bisa keluyuran wkwk. Apalagi target saya kan pingin kuliah di luar negeri habis lulus SMA. Lah kalau masuk FK kan ya nggak mungkin ke luar negeri juga kecuali mau jadi warga negara sana, Selain itu saya dari dulu juga udah punya pandangan bahwa jadi dokter itu komitmen seumur hidup, bakalan susah dan banyak tuntutan, terlepas dari prestige yang ada di masyarakat. Karena saya bener-bener keukeuh nggak mau jadi dokter sedangkan banyak orang mendesak saya buat jadi dokter, lama-lama bete sendiri sama profesi dokter (padahal dokternya nggak salah ya wkwk). Tapi ya begitulah nggak boleh membenci sesuatu berlebihan...nggak ngerencanain juga sih nikah sama dokter akhirnya hahaha.
Saya dari awal nggak pasang ekspektasi tinggi karena udah kepikiran hal-hal nggak enak apa yang bakal terjadi kalau jadi istri dokter wkwk. Somehow it helps. Waktu suami keterima PPDS di pikiran cuma "oke fine anggep aja ngekos sendiri kayak waktu di Jepang" haha. Intinya jangan berharap banyak gitu aja sih. Perhatian suami pasti jauh berkurang tapi perlu disadari bukan berarti dia nggak perhatian lho yaa..yaa keadaannya yang bikin dia nggak bisa. Saat suami sibuk ya saya harus cari kesibukan lain, maksudnya jangan sampek pikiran "suami sibuk jadinya nggak perhatian" itu menghantui terus. Harus cari "kebahagiaan" lain selain "diperhatiin suami". Mungkin karena background keluarga saya juga yang dari kecil ayah itu nggak selalu ada di rumah karena kerjanya di luar kota atau luar pulau. Jadi saya merasa nggak terlalu susah nerima bahwa suami nggak bisa sering-sering di rumah. Dari dulu saya juga ngeliat mama semuanya dilakuin sendiri. So, actually it is not really a big deal for me hehe.
Tapi bagaimanapun meski saya bilang nggak terlalu susah, semuanya perlu waktu untuk menyesuaikan. Awal-awal pasti sering salah paham terus jadi konflik deh. Konflik pastinya nggak bisa dihindari makanya penting buat mengkomunikasikan maksud masing-masing gimana. Lalu jangan terlalu perhitungan sama suami. Teorinya memang "take and give" tapi ada suatu waktu yang mungkin kitanya yang harus "give and give" terus hehe. Yaudah gapapa harus berusaha ikhlas dan anggep semuanya ibadah. Last but not least, harus sabar apapun keadaannya. Sabar memang susaaaahh tapi bukan berarti nggak mungkin.😊
Di tengah pandemi COVID19 ini kesabaran keluarga dokter juga diuji, khususnya yang memang benar-benar menjadi garda terdepan. Qadarullah, suami harus jaga ruang isolasi COVID karena divisi IPD pegang peran penting dalam penanganan pandemi ini. PPDS itu struktur terbawah jadi ya mau nggak mau otomatis jadi relawan. Dramanya lumayan banyak yaa tapi kayaknya saya nggak perlu cerita panjang lebar disini karena drama nakes ini sudah banyak diulas di media beberapa bulan terakhir wkwk. Apalagi kebetulan suami juga di RSUD Soetomo Jawa Timur yang merupakan hotspot corona banget, sudah banyak nakes yang meninggal disini. Lumayan bikin down juga saat senior PPDS suami yang meninggal. Sebagai keluarga dokter, saya hanya bisa tawakkal dan mendoakan suami semoga selalu dilindungi oleh Allah. Saya berusaha memastikan agar suami hidup sehat nggak stress. Semuanya pasti berharap semoga pandemi ini segera berlalu yaa aamiin! 😇
Kesimpulan dari tulisan saya ini adalah menjadi istri seorang PPDS itu tidak seburuk yang dibilang orang-orang kok hehe. Pahami resikonya bagaimana, cari solusi yang terbaik dengan mengkomunikasikan sama suami, lalu tinggal tawakkal aja sama Allah.
No comments:
Post a Comment