Indonesia Mengglobal

Artikel ini saya buat untuk Indonesia Mengglobal dengan tujuan untuk berbagi pengalaman saya tentang bagaimana saya bisa sampai kuliah di Jepang. Mungkin isinya mirip dengan beberapa artikel yang pernah diposting di blog ini maupun blog sebelumnya, namun di artikel ini saya berusaha meringkasnya dalam satu tulisan. Pengalaman saya ini hanya sebagian kecil dari banyaknya cerita orang-orang yang pernah bersekolah di Jepang. Masih banyak yang hidupnya jauh lebih susah  ketika disini tapi mereka tetap semangat untuk bisa survive di Jepang dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka karena sebenarnya nggak ada yang membatasi impian kita, justru kadang diri kita sendiri yang membuat batasannya. Semoga bermanfaat dan buat semua yang lagi merantau tetep semangat yaa ^^

[ini versi asli yang belum diedit, kalau mau lihat versi editannya silakakan cek disini]
*********************************************************************************
Bersekolah di luar negeri secara gratis,alias dengan beasiswa, adalah impian saya sejak dulu dan demi cita-cita ini saya rajin mendatangi seminar-seminar serta pameran pendidikan internasional. Saat lulus SMP, saya berencana untuk mengikuti seleksi ASEAN Scholarship untuk masuk SMA di Singapura. Namun rencana itu harus pupus karena ada salah satu kebijakan dari pihak Singapura yang tidak sesuai dengan prinsip saya. Saat itu saya berpikir kejadian itu hanyalah sebuah awal dari tantangan-tantangan lain yang harus saya lewati untuk mencapai cita-cita saya. Tetap optimis karena saya percaya kesempatan lain masih ada. Karena itu, saat SMA saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri. Saat itu saya mendaftar program AFS dan sayangnya perjuangan saya harus terhenti sampai seleksi wawancara saja. Saya cukup sedih dengan hasil tersebut, namun dari pengalaman wawancara itu saya mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan berusaha mengingat kembali bagaimana saya menjawabnya. Apalagi bagi saya itu adalah wawancara resmi pertama yang menggunakan Bahasa Inggris sehingga saya masih perlu banyak belajar.

Karena kesibukan di sekolah maka masa SMA saya terlewati tanpa berhasil memenuhi target saya untuk bisa sekolah di luar negeri. Saya sudah bertekad pada diri sendiri bahwa mungkin memang belum rejekinya saat ini, tapi untuk kuliah nanti saya harus bisa keluar dan target saya adalah Jepang karena untuk program undergraduate setahu saya hanya Jepang yang menyediakan beasiswa penuh,apalagi saya sudah tertarik dengan budayanya sejak dulu. Ternyata Allah memberi kejutan di beberapa bulan terakhir saya di SMA. Saya tidak menyangka sekolah saya merekomendasikan nama saya untuk didaftarkan ke New York University Abu Dhabi. Karena saat itu target saya adalah mendapat beasiswa ke Jepang atau masuk ke universitas negeri di Indonesia, saya tidak ada keinginan untuk kuliah di universitas Amerika Serikat karena setahu saya belum ada beasiswa untuk level undergraduate disana. Tapi karena ini adalah sebuah kesempatan emas maka saya tidak boleh menyia-nyiakannya. Apalagi katanya yang diterima di universitas ini kebanyakan diberi beasiswa oleh pihak universitas. Pengalaman mendaftar ke New York University adalah pengalaman pertama saya dalam rangka mendaftar ke perguruan tinggi. Saya tidak menyangka persayaratan yang dibutuhkan sangat banyak dan sangat ribet. Banyak dokumen yang harus diterjemahkan ke Bahasa Inggris seperti rapor dan sertifikat penghargaan (ijazah belum ada karena belum lulus). Lalu ada surat rekomendasi dari beberapa guru dan beberapa esai yang harus dibuat. Belum lagi mengisi form pendaftaran secara online yang isinya bermacam-macam. Saya tidak punya feeling apa-apa tentang New York University ini, mungkin karena ini bukan target saya yang sebenarnya jadi rasanya nothing to lose saja. Eh ternyata saya dapat undangan untuk menghadiri Candidate Weekend di Abu Dhabi langsung dan semua biayanya ditanggung oleh pihak universitas alias gratis! Singkat cerita saat menghadiri wawancara disana saya bertemu banyak orang dari berbagai Negara dan menurut saya mereka sangat keren. Dari perjalanan ke Abu Dhabi ini saya belajar banyak bahwa saya termasuk masih sangat kurang pengalaman dibanding mereka dan saya melakukan kesalahan saat wawancara. Saya tidak terlalu memperhatikan kuliah umum yang disampaikan oleh New York University’s President, padahal pertanyaan pertama wawancara berkaitan dengan hal tersebut. Pada akhirnya saya mendapat pengumuman bahwa saya tidak diterima di New York University Abu Dhabi.

Kecewa pasti iya tapi hal ini justru membulatkan tekad saya untuk bisa kuliah di luar negeri bagaimanapun caranya. Meskipun saya sudah datang ke beberapa seminar pendidikan Jepang dan berusaha update info terbaru tentang beasiswa disana, tidak tahu kenapa saya missed satu kesempatan untuk ikut seleksi Mitsui Busan Scholarship. Rasanya nyeselnya minta ampun saat itu, tapi bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Saya harus mulai fokus persiapan untuk mengikuti seleksi Monbukagakusho Scholarship yang terkenal susah itu. Awalnya target saya kan bisa kuliah di Jepang harus dengan beasiswa namun melihat ketatnya kompetisi saya harus menyiapkan rencana lain. Setelah browsing sana-sini tentang pendidikan di Jepang akhirnya saya putuskan masuk Japanese Language School dulu lalu baru daftar kuliah disana. Disitu disebutkan ada beasiswa yang bisa didaftar setelah kedatangan meski awalnya harus nombok dulu. Saya ragu-ragu awalnya melihat keadaan “domestik” rumah sedang kurang bagus, tetapi ayah saya mendukung keputusan itu. Saya pikir kalau sudah didukung orang tua artinya saya sudah diberi kesempatan maka tidak boleh dilepas begitu saja. Tapi om saya tetap menyarankan agar saya ikut seleksi SNMPTN karena menurutnya lebih baik masuk PTN dulu sambil menunggu pengumuman Monbukagakusho. Syukur-syukur kalau dapat beasiswa itu, kalau tidak pun saya juga masih aman karena sudah kuliah dan mungkin nantinya saat S2 bisa mendaftar keluar. Jadi saat itu di waktu yang hampir bersamaan saya lolos untuk mengikuti tes tulis Monbukagaksho Scholarship, ikut SNMPTN, dan menyiapkan berkas untuk mendaftar ke Japanese Language School. Hasilnya adalah saya tidak lolos ke tahap wawancara untuk Monbukagakusho, saya diterima di ITB, dan aplikasi saya di Japanese Language School sudah diterima. Saya sangat bersyukur, namun juga sedih dengan hasil tersebut. Saya sangat bingung harus memilih yang mana Antara masuk di ITB saja atau tetap nekat ke Jepang tanpa beasiswa. Pada akhirnya saya memutuskan untuk melepas ITB dan tetap pergi ke Jepang. Mungkin terkesan nekat sekali tapi saat itu saya yakin hal itu adalah keputusan terbaik yang bisa saya buat.

Saya menghabiskan  sembilan bulan di Japanese Language School sebelum akhirnya diterima di Nagoya University. Selama sembilan bulan itu saya harus bertahan hidup pas-pasan dan dalam jangaka waktu tersebut rencana studi saya benar-benar berubah dari yang semula direncanakan sebelum berangkat. Beasiswa yang  menurut info bisa saya daftar ternyata tidak dapat dilamar dari sekolah saya. Part time job yang katanya ada banyak ternyata tidak serta merta membuat saya mendapat pekerjaan karena alasan kerudung yang saya pakai, sebelum akhirnya saya mendapat part time job di kantin sekolah selama tiga bulan. Selain itu saya merasa kondisi sekolah tidak kondusif untuk mengerjar target saya memenuhi persyaratan masuk universitas Jepang, padahal Bahasa Jepang itu susah sedangkan semua tesnya menggunakan Bahasa Jepang. Akhirnya saya mendapat info tentang G30 Program yang dibuka pemerintah Jepang dari teman-teman Indonesia disana,yaitu program kuliah untuk mengambil bachelor degree dengan Bahasa Inggris. Saat itu universitas yang bisa saya penuhi persyaratannya ada tiga, yaitu Osaka University, Kyushu University, dan Nagoya University. Syarat-syarat pendaftaran tiap universitas berbeda, namun secara umum yang dibutuhkan adalah nilai TOEFL atau tes kemampuan Bahasa Inggris yang lainnya, ijazah, rapor, surat rekomendasi guru, esai, serta mengisi form pendaftaran. Kalau lulus seleksi berkas ini maka akan dipanggil untuk wawancara dan tes tulis (untuk Nagoya University tidak ada tes tulis).  Pertanyaan yang diajukan saat wawancara bervariasi tergantung universitasnya. Ada yang menanyakan lebih banyak tentang ilmu pengetahuan bidang yang akan dimasuki nantinya, ada juga yang lebih menitikberatkan pada personality serta leadership dari pelamar, dan ada yang fifty-fifty.Saat mendaftar masuk universitas-universitas tersebut kita juga bisa mendaftar aplikasi beasiswa dari pihak kampus  sehingga prinsip saya saat itu diterima dimana saja tidak apa-apa asal bisa mendapat beasiswa.

Harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Saya ditolak di Kyushu University, masuk waiting list di Osaka University, dan diterima di Nagoya University namun aplikasi beasiswa saya ditolak. Alhamdulillah sekali saya bisa diterima tapi saya juga bingung sekali bagaimana bayar uang masuknya saat itu. Sayang sekali kan kalau kesempatan bisa kuliah di Jepang harus dilepas. Pada akhirnya ada saudara yang mau membantu sehingga proses masuk kuliahnya bisa lancar. Saya bertekad bagaimanapun caranya setelah ini saya  tidak mau merepotkan orang tua lagi. Keputusan ini nekat lagi sih sebenarnya karena saya cuma punya sangu yang tidak tahu cukup sampai bulan apa dan saya masih belum tahu bagaimana saya bayar SPP serta memenuhi uang bulanan saya berkaca pada pengalaman sebelumnya ketika saya bersekolah di sekolah bahasa. Tapi arek Suroboyo kan harus bonek (bondo nekat) dan saya percaya Allah pasti memberi jalan :D

Pada bulan Oktober 2013 alhamdulillah saya resmi menjadi mahasiswi Nagoya University. Meski hingga saat itu harapan saya tidak persis seperti yang saya mau, tapi saya yakin Allah punya rencana yang terbaik. Saya kaget ketika pertama kali tiba di bandara ada email masuk di handphone saya isinya menyatakan bahwa saya menerima beasiswa dari JASSO selama enam bulan. Saya agak tidak percaya membacanya soalnya saya merasa tidak pernah mendaftar ke pihak JASSO. Ternyata setelah saya cari tahu mahasiswa G30 yang tidak mendapat beasiswa apapun direkomendasikan oleh pihak universitas untuk mendapat beasiswa ini. Beasiswa JASSO jumlahnya tidak mencukupi untuk menutupi living cost saya di Nagoya namun saya sangat terbantu dengan beasiswa ini. Untuk SPP, saya mengajukan permohonan keringanan ke pihak kampus dan alhamdulillah mendapat keringanan sebesar 50%. Karena beasiswa dari JASSO hanya enam bulan sedangkan saya juga butuh untuk menabung demi membayar SPP, maka saya rajin mencari info untuk mendaftar beasiswa lain. Namun ternyata untuk mahasiswa semester satu S1 belum banyak beasiswa yang bisa didaftar. Meskipun ada, kebanyakan beasiswa tersebut dialokasikan untuk mahasiswa S2 atau S3. Intinya peluang saya sangat kecil. Berkali-kali saya bertanya apakah beasiswa ini itu bisa didaftar atau tidak dan berkali-kali juga jawaban yang saya terima negatif. Di saat yang sama, ada kabar bagus yang saya terima yaitu dosen advisor saya menawari saya kerja part time di labnya. Karena kerja di dalam kampus, saya bisa mengatur waktunya lebih fleksibel dan gajinya juga lumayan. Untuk masalah living cost saya mungkin bisa memenuhi dari beasiswa JASSO itu serta gaji part time saya, namun tidak dengan SPP. Akhirnya karena hingga batas akhir pelunasan SPP saya belum bisa membayarnya, dosen advisor saya meminjamkan uangnya kepada saya. Rasanya saat itu campur aduk antara malu, lega, nggak enak, tapi yang pasti saya berterima kasih sekali kepada dosen saya ini.

Setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Bener banget deh kutipan ayat itu. Akhirnya berita yang saya tunggu-tunggu tiba juga pada bulan Februari 2013. Saya mendapat email dari department office untuk datang kesana karena ada beasiswa yang sepertinya bisa saya daftar,namanya adalah AEON 1% Club Scholarship. Beasiswa ini mencakup SPP tiap semester dan living cost tiap bulan yang jumlahnya lumayan besar dalam jangka waktu dua tahun dan setelahnya bisa diperpanjang. Saat membaca semua persyaratan dari AEON 1% Club Scholarship memang saya bisa mendaftar beasiswa tersebut, namun semua berkas yang harus saya isi harus ditulis dalam Bahasa Jepang. Jadi tantangan saya saat itu adalah menulis dalam Bahasa Jepang karena sebenarnya secara umum form pendaftaran itu tidak terlalu susah untuk diisi jika menggunakan Bahasa Inggris. Isinya data diri dan beberapa pertanyaan tentang studi sekarang, latar belakang mengapa mendaftar beasiswa ini serta rencana di masa depan. Berkas-berkas lain yang perlu dipersiapakan adalah rekomendasi dosen dan hasil studi semester kemarin. Akhirnya saya meminta bantuan tutor saya yang orang Jepang untuk mengoreksi tulisan saya dan alhamdulillah saya bisa mengirimkan persyaratan tepat waktu di bulan Maret. Saya mulai khawatir saat bulan Mei belum ada kabar apapun dari pihak AEON padahal pada bulan itu dijadwalkan akan ada wawancara bagi pendaftar yang lolos. Ternyata ada perubahan jadwal dari pihak AEON karena wawancara dilakukan di bulan Juni dan saya mendapat kabar bahwa saya dipanggil wawancara ke kantor cabang di Kyoto. Rasanya lega sekali mendapat kabar itu karena kata pihak kampus interview itu hanya formalitas, kalau saya sudah dipanggil wawancara artinya 90% saya sudah diterima. Meskipun begitu saya tetap agak nervous ketika hendak wawancara karena akan dilakukan dengan Bahasa Jepang. Namun ternyata wawancara dilakukan bersama dengan tiga calon penerima beasiswa yang lainnya dan pertanyaan yang diajukan juga umum sehingga saya bisa paham dan menjawab dengan Bahasa Jepang.

Saya resmi dikukuhkan sebagai penerima AEON 1% Club Scholarship pada bulan Juli 2013. Setelah itu uang beasiswa cair dan saya bisa melunasi hutang kepada dosen saya. Rasanya Allah menjawab doa-doa saya sebelumnya saat itu dengan jalan yang tidak terduga. Alhamdulillah saya masih bisa kuliah dan hidup dengan baik di Nagoya hingga sekarang. Maka dari itu sekarang ini saya sedang ganbatte untuk menjalani sisa dua tahun perjalanan hidup saya di Jepang,insyaAllah.


Intinya apapun impian kita bagaimanapun caranya harus kita perjuangkan agar tidak menyesal nantinya karena tidak pernah mencoba mencapai mimpi-mimpi itu. Asalkan kita selalu berusaha dan berdoa jalan itu pasti ada. Semua tantangan, kegagalan, dan keberhasilan semua harus diterima, disyukuri, dan dijalani :D Keep up the hard work! 

7 comments:

  1. saya senang membaca tulisan anda tentang perjuangan anda sampai ke jepang. Dan saya juga ingin sekali melanjutkan kuliah S2 di luar negeri tapi saya sadar bahwa sepertinya saya sadar dengan ilmu yang saya miliki jadi saya agak kurang bisa memotivasi diri saya untuk dapat mencapai keinginan saya ini. kalau menurut saudari Dina apa kira-kira pandangan yang bisa lebih memompa motivasi ini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kak Johar makasih udh ngasih komen :)
      mksd pertanyaannya kurang pede begitu dengan ilmu yang dimiliki skrg? mnrt saya kalau kurang motivasi artinya keinginan buat ngelanjutin S2 di luar negeri juga msh kurang. Mungkin bisa dikipirkan baik2 lagi sebenernya apa yang pingin dilakuin skrg, atau tujuannya itu dibuat lebih spesifik misalkan S2 ini mau ambil apa dimana negaranya nama universitasnya apa dsb.

      Delete
    2. bisa minta emailnya mba?

      kalau mau ngambil ilmu Nuklir di jepang itu kira yang mba tau bagus di kampus mana dan peluang mendapatkan beasiswa bagaimana?

      Delete
    3. ipranatasari@gmail.com

      hmm saya kurang tau ya kl yang bagus ini itu dimana..mungkin bisa browsing2 dulu, bisa nyoba website ini >>> http://www.jpss.jp/en/
      http://www.studyjapan.go.jp/en/
      http://www.jasso.go.jp/study_j/index_e.html

      kalau untuk S2 biasanya harus ngontak profesor dulu. beasiswa bisa dari MEXT (monbusho), LPDP, dikti, atau perusahaan swasta jepang/indonesia. detilnya juga bisa dibrowsing dulu soalnya saya dulu juga gitu memanfaatkan internet untuk cari info

      Delete
  2. saya gagal dari masuk ITB 😊
    terimakasih,sangat bermanfaat ..
    ditunggu tulisan selanjutnya ..
    頑張ろう!

    ReplyDelete
  3. Asean scholarship benar tdk boleh berkerudung? Saya berniat daftar tahun depan. Alhamdulillah sejak Play Group saya berhijab di skolah. Dan sejak SMP Alhamdulillah juga sudah istiqomah di luar skolah. Saya takut kalau memang benar tdk boleh berhijab

    ReplyDelete
    Replies
    1. 8 tahun lalu waktu saya mau coba dftr ASEAN Scholarship saya coba email langsung ke contact person pemberi beasiswa dan katanya nggak boleh memakai atribut keagamaan di sekolah,termasuk kerudung. Mgkn bisa dicoba email langsung ke merekanya lagi skrg siapa tau aturannya udah berubah.

      Delete