In Search of Thesis Topic
Salah satu perbedaan antara kuliah di Indonesia dengan waktu saya kuliah di Jepang dulu adalah penentuan topik penelitian skripsi/tesis. Kalau di Jepang, meski kita punya topik sendiri biasanya tetap disesuaikan dengan projek besar penelitian di labnya sensei. Sedangkan di Indo kita diberi kebebasan penuh mau neliti kayak apa dan kayak gimana (tapi urus semuanya sendiri wkwkwk). Ada plus minusnya lah ya semuanya. Jujur saya struggle nyari topik karena beneran belum ada ide mau dibawa kemana arah penelitiannya.
Saya nggak suka statistik dan saya sempet cari data masalah di klinik milik keluarga suami tapi datanya kurang bagus kalau mau dijadikan data masalah tesis. Suatu hari waktu matkul Metode Penelitian dosen saya kalau beliau bosen dengan tema tesis mahasiswa yang gitu-gitu aja. Beliau nanya apa nggak ada yang mau ngangkat tema global? Saya langsung tertarik dan bertanya jenis penelitiannya seperti apa kalau mau bahas kayak global health gitu. Beliau bilang kalau sejak pandemi ini (waktu itu tahun 2021) mahasiswa diijinkan penelitian tesis dengan metode systematic review (SR). Wah menarique sekali apalagi saya merasa kekuatan saya ada di membaca. Saya juga nggak suka ribet-ribet penelitian lapangan karena saya belum punya afiliasi institusi apalagi pas jaman COVID makin susah dapet ijinnya. Selain itu, SR bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Ide awal waktu itu adalah sistem kesehatan seperti apa yang mendukung life expectancy. Tapi setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing, sepertinya faktor yang lebih berpengaruh ke life expectancy itu adalah lifestyle bukan sistem kesehatan. Akhirnya setelah menggali sana sini saya menemukan data masalahnya di bertambahnya jumlah populasi Lansia Indonesia namun layanan kesehatan khususnya terkait long-term care masih sangat kurang. Singkatnya, judul tesis saya pada akhirnya adalah " Pengembangan Layanan Long-Term Care Terintegrasi bagi Lansia: Studi Systematic Review".
Series of Exams
Di prodi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK), mahasiswa harus melewati 4 kali ujian untuk lulus. Nggak paham kenapa banyak banget yak huhu. Yang pertama adalah ujian pra proposal yang dilaksanakan pada 4 Desember 2021. Karena masih pandemi COVID, ujian dilakukan secara daring dan sistemnya semua dosen AKK yang bisa hadir akan memberi feedback. Jadi kayak dikeroyok gitu loh. Saya ditanyain apa sanggup melakukan penelitian kualitatif karena saya sendiri belum pernah ngelakuin dan di prodi AKK itu jarang yang ambil kualitatif. Saya iyain aja asal nggak deket-deket sama statistik wkwk. Meski saya tau saya harus belajar sendiri gimana ngelakuin penelitian kualitatif karena sadly itu nggak diajarin di matkul Metode Penelitian maupun yang lainnya (#kesalahan1 ambil metode yang nggak umum dipakai di prodi). Ujian kedua adalah ujian / seminar proposal yang dilakukan pada 1 April 2022 secara daring. Ujian inipun kesannya tiba-tiba karena saya disuruh maju tanpa feedback revisi dari dosbing heu. Penguji kali ini ada 5 orang, yaitu 2 dari dosbing, 2 dosen internal AKK, dan 1 dosen penguji luar. Habis ujian proposal ini puyeng harus ngerevisi kayak gimana karena masukannya banyak banget wkwk. Kayaknya modelannya tuh waktu bimbingan komennya minimal tapi waktu ujian maksimal😂
Banyak hal terjadi selama 2022. Meski ini terdengarnya cuma excuse tapi jujur masalah-masalah yang ada (utamanya masalah keluarga) affected me alot. I felt somehow demotivated but still I tried to do the research bit by bit. Ikutan webinar/workshop, belajar-belajar sendiri, mikir-mikir sendiri, sampek bingung-bingung sendiri wkwk makanya it took a lot of time. Mau gak mau saya harus mengajukan perpanjangan beasiswa dan alhamdulillahnya dapat durasi maksimal yaitu 6 bulan.
Target di tahun 2023 saya harus lulus eh qadarullah ternyata saya hamil. Buyar deh semua rencana karena saya tepar dan mabok banget selama kehamilan. Rasanya otak tuh nggak bisa dipake maksimal wkwk. Apalagi saya nggak boleh stress jadi saya ngerjain penelitian “senyaman dan semampu” saya aja. Saya sempet konsul sekali di trisemester 3 karena ngerasa otaknya lebih fit. Saya berharap sebelum lahiran seenggaknya bisa seminar hasil but yeah it just did not work.
Fast forward akhirnya sampai juga di tahun 2024 LoL. Saya udah dapat SP dari kampus (seumur-umur perjalanan akademik baru kali ini 🥲). Tapi ngerjain tesis sambil ngurus new born twinnies cukup challenging ya wkwk. Saya ngerjain dikit-dikit sambil curi-curi waktu, misal waktu mereka tidur atau pas menyusui disambi buka leptop. Alhamdulillah di tanggal 30 Januari 2024 seminar hasil bisa dilaksanakan. Untuk seminar hasil dan ujian tesis akhir nanti jumlah penguji dari eksternal bertambah 1 orang, sehingga total ada 6 penguji. Dan karena pandemi sudah berakhir, ujian dilakukan hybrid karena ada beberapa penguji yang bisanya datang online saja. Dramanya bayi-bayi njerit karena mereka nggak bisa tidur kalau nggak nen bundanya (masuk umur 3 bulan pada nggak mau minum susu dari botol). Anyway, ngerjain revisian selalu rasanya kayak ngerjain semuanya dari awal. Ini sih yang bikin antara satu ujian ke ujian lalu jedanya agak lama. Finally saya bisa ujian akhir tesis di tanggal 20 Mei 2024. Alhamdulillah kali ini bayi-bayi udah lebih gede jadi lebih sabar nungguin bundanya :)
Reflection on Master's Degree Journey
Apa saya menyesal mengambil S2 di Indonesia? Menyesal banget sih enggak juga ya…waktu memutuskan untuk kuliah disini karena prioritas keluarga, saya sudah menurunkan ekspektasi. Tapi nggak nyangka aja molornya lamaa banget hahaha soalnya saya biasanya orang yang nggak suka menunda-nunda dan disiplin. Tapi seninya kuliah di Indonesia itu memang karena ada banyak faktor yang mempengaruhi, nggak hanya dari faktor internal seperti motivasi saja tapi menurut saya lebih banyak ke faktor eskternalnya mulai dari dosen, petugas admin, aturan kampus yang dinamis, dsb. Cuma rasanya kayak ironi gitu dimana pas di Jepang mahasiswa yang dikejar-kejar dosen, disini bener-bener nggak dipeduliin. I began to wonder why I paid for this..tough the answer is obvious: hanya untuk ijazah ☹️
Apa tujuan S2 saya tercapai? Sejujurnya alasan terbesar saya mau lanjut S2 di Indonesia itu harapannya bisa membuka peluang di dunia akademisi atau setidaknya memperluas networking. Tapi ya kok apesnya pas S2 pandemi COVID melanda, interaksi dengan dosen maupun teman juga sangat terbatas. Yasudah buyarlah semua cita-cita wkwk. Tentunya nggak semua buruk ya. Sisi positifnya saya belajar ilmu baru, trus kalau disini tuh dituntut bisa ngerjain semuanya sendiri jadi otomatis saya punya skill baru. Kalau di Jepang kan kerjaan dibagi jadi saya ngerjain bagian saya aja dan gak perlu bisa ngerjain lainnya (makanya skill nya sangat spesifik).
Anyway, semua sudah terlewati dan alhamdulillah sudah tuntas kewajiban studi saya. Semoga ilmunya bermanfaat dan membuka peluang-peluang yang baik di masa depan aamiinn 🤲🏻😇
No comments:
Post a Comment